Menelik Negeri

Menelik Negeri. Design by Canva

Pembuka

Saat aku berlari terus ke arah depan, entah mengapa masa lalu soal negeri selalu saja menarik diriku. Untuk seolah berhenti sejenak, atau bahkan aku diajak berlari jauh lagi ke belakang. Tentu aku tidak diajak memundurkan langkahku. Tapi, aku hanya diajak untuk berlari ke belakang melalui alam pengetahuan dan ilmu. Sehingga, langkah kaki yang aku selalu ajak ke depan ini, membutuhkan jeda sejenak. Agar aku bisa berpikir dan mencari dengan tenang soal masa lalu negeriku.

Katanya, masa lalu tidak usah diungkit kembali. Ya, aku setuju. Namun, masa lalu yang tidak usah diungkit kembali adalah soal rasa sakit yang pernah dirasakan. Mengingat lukanya, kemudian mengingat rasa sakitnya. Untuk apa? Tapi ternyata, soal masa lalu yang tidak usah diungkit ini, tidak berlaku jika masa lalu itu soal keagungan, keindahan, budi luhur yang sengaja ditutupi. Sehingga justru, menyebabkan masa sekarang dan masa depan menjadi kehilangan arah.. Sebab, ada identitas yang tersembunyi—atau disembunyikan ya?

Pertarungan antara kebenaran Tuhan dan kesesatan manusia—iblis memang merupakan battle yang belum diusaikan oleh Allah. Yah, hingga Allah sendiri yang berkehendak untuk menghentikannya. Maka, imbas dari pertarungan itu adalah adanya strategi dan bahkan tipu daya untuk melanggengkan siapa yang akan memenangkannya. Walau telah jelas, bahwa kemenangan itu hanyalah milik Allah—dan mereka yang berjuang di jalan-Nya, yang menjadi pasukan-Nya.

Lantas, apakah ketersambungan ‘pertarungan’ ini dengan Menelik Negeri?

Continue reading “Menelik Negeri”

‘Mretheli’ yang Belum Dimengerti dan Sudah Dimengerti

Mretheli Diri Sendiri

Akhir-akhir ini lagi nano-nano banget sama hidup. ‘Ditinggal’ kawan, nangis kaya bocah. Dideketin orang, kaga nyadar. Dikasih kepercayaan, kaga percaya sama kemampuan diri sendiri. Ditegur sama orang, galaunya sampe ubun-ubun. Diajak berlari, malah sibuk milih sepatu. Dikasih petunjuk untuk saling menerima, malah menjunjung tinggi idealisme diri. Dipepet biar lebih peka, malah terus-terusan terlalu realistis. Dikasih kesempatan jadi diri sendiri, malah kebawa-bawa sama prasangka. Didukung biar lebih menikmati sebuah hubungan, malah kabur-kaburan. Hah!! Banyak juga yang ‘dipretheli’.

‘Mretheli’; ‘dipretheli’; ini kosa kata bahasa Jawa yang aku dengar dari orangtua kalau lagi ngobrol sama adik-kakaknya. Setangkapku, artinya adalah dikupas. Tapi, bukan gitu sih. ‘Mretheli’ nih kaya versi lebih detailnya gitu. Misalnya, aku pernah melihat bapakku benerin televisi, terus ‘dipretheli’ satu persatu supaya ketahuan komponennya apa aja, dan tahu salahnya dimana. Yah, semacam dibongkar gitu ya.

Sesungguhnya, dari paragraf pembuka di atas aku sedang ‘mretheli’ kejadian-kejadian—baik yang belum aku mengerti maksudnya walaupun yang sudah aku mengerti sebelumnya. Banyak hal yang terlewat oleh perenungan panjang ala diri. Biasanya, kalau ada kejadian tertentu, pena langsung gerak cepat menuangkan segalanya di atas kertas. Weladalah, akhirnya malah surfing di medsos terus—melarikan diri, hehehe.

Continue reading “‘Mretheli’ yang Belum Dimengerti dan Sudah Dimengerti”

Hak dan Kewajiban Perasaan(ku)

Malam semakin lekat

Rasanya, hati semakin ingin diikat

Oleh nada-nada doa yang bergelimang

Agar hati semakin merasa tenang.

Walau harus tangis kau tuangkan

Dalam bait-bait perjalananmu

Mengarungi kembali masa lalu

Tenang, ia akan menjadi memori yang tidak tergantikan

Perasaanmu adalah hakmu, untuk dirasakan

Perasaanmu adalah kewajibanmu, untuk diarahkan.

Suatu hari, aku pernah bertanya-tanya

Hmm, apa sih maksud dari ‘cinta selamanya’?

Tapi aku temukan itu!

Ini soal hubungan yang erat dengan Rabb-ku

Saat aku menjadikan Allah sebagai destinasi tertinggi

Nyatanya bukan karena cinta selamanya, tapi cinta sejati

Kalau kata Buya Hamka,

“Kalau kita mendiamkan perbuatan salah…

itu artinya cintaku tidak ikhlas.

Aku hanya mencintai diriku sendiri.”

Sekeloa, 11 Juli 2020

Your beloved sister, Baday

Belajar dari yang Berpulang (Refleksi Pandemi)

Photo by Canva.com

Otot-otot jiwa, fisik serta emosi kita menegang. Menimbulkan kewaspadaan di tengah gentingnya situasi akhir-akhir ini. Saya ingat pernah menuliskan sebuah refleksi di akun Medium saya. Bagaimana sesungguhnya virus corona itu. Hingga akhirnya saya menemukan titik tengah untuk: fokus kontribusi.

Seiring berjalannya waktu, kita sempat berada di ‘titik tenang.’ Dimana semua mulai terasa normal, dengan adanya hal-hal baru yang terjadi selama pandemi. Masker, cuci tangan rutin, makan yang bergizi, serta olahraga teratur. Ada juga yang menambah dengan membaca buku, berdiskusi bersama, dan menambah ilmu sana-sini. Semua mulai terasa tenang, bak corona sudah ‘hilang’—pandemi sudah usai.

Hingga akhirnya, kita kembali pada titik—yang mungkin lebih genting dari sebelumnya. Jika sebelumnya kita kewalahan dengan adaptasi kebiasan yang baru, kini kita kewalahan dengan banyaknya kasus positif yang menyebar dengan cepatnya. Cluster keluarga bermunculan bagai sebuah metode ketok tular. Entah bermula dari mana, namun hari ini kegentingan itu kembali terasa—lebih genting dari sebelumnya.

Continue reading “Belajar dari yang Berpulang (Refleksi Pandemi)”

#SeRes 1 – Jalan-jalan ke Broken Home

Hallo! Jadi, pada tanggal 15 Mei lalu, aku mengadakan sebuah ruang diskusi online bernama #DiskuSeh (Diskusi Sehat). Nah, bahasan pertama aku mengangkat tema Broken Home. Selain video hasil rekaman Zoom-nya, aku juga menuliskan hasil resume dari diskusinya.. Ku beri nama: SeRes (Sebuah Resume). Enjoy!

Kondisi rumah yang membuat kita sulit bertumbuh, pada akhirnya menjadi definisi terbaik dari broken home. ‘Rumah’ dalam makna ‘home’ selain ruang secara fisik, juga merupakan ruang di hati. Yang menjadi tempat teraman untuk pulang. Mungkin tidak harus nyaman, sebab kenyamanan terkadang melenakan. Bisa jadi rumah membuat kita merasa selalu berenergi, namun membuat kita aman dalam menghadapi realita kehidupan yang begitu luas di luar rumah. 

Definisi rumah rusak pun tidak sesempit kedua orangtua yang berpisah, pun tidak sesederhana rumah yang karakternya tidak ada manis-manisnya. Nyatanya, rumah rusak tidak perlu kita pusingkan sedemikian rupa. Cukup kenali kondisi rumah kita bagaimana, jika ternyata kita merasa tidak aman bertumbuh di dari sana dan merasa tidak aman untuk menumpahkan segala keluh-kesah kehidupan, bisa jadi memang rumah kita memang bukan rumah yang aman—untuk sementara ini. Lantas, apakah itu semua merupakan titik henti kehidupan? Tentu saja tidak. Bukan kondisi rumah yang menjadi standar apakah ia titik hentik kehidupan atau bukan. Namun, bagaimana kita menyadari kondisi rumah, serta apa yang sudah terbentuk dalam diri kita, itulah standar—apakah kehidupan kita berhenti begitu saja atau tidak.

Kesadaran bahwa rumah yang saat ini memang tidak aman untuk mengeksplorasi kehidupan, dan menyadari bahwa banyak hal yang belum kita pelajari karena kondisi rumah yang demikian—akan membuat kita memulai sebuah langkah hidup yang berbeda dari langkah sebelumnya. Kita akan mencoba mengenali diri lebih mendalam, barangkali kondisi rumah yang tidak aman membuat diri kita membatasi langkah untuk mengenal diri sendiri. Atau barangkali, kita ingin mencoba mencari ruang di luar rumah yang lebih aman untuk kita mengeksplorasi kehidupan.

Menyadari kondisi rumah yang tidak aman untuk bertumbuh, pada akhirnya memiliki fokus yang terpusat pada bagaimana kita memperhatikan diri kita dan mengembangkan diri kita. Tentu, kita akan selalu berharap rumah kita menjadi tempat berpulang yang aman. Namun, bukan itu tujuan besar dari kesadaran yang sudah kita dapatkan. Ini soal bagaimana kita benar-benar ingin menjadi pribadi yang kuat, bukan sebagai korban lagi—korban dari ketidakutuhan pola asuh yang diberikan orangtua kepada kita. Tetapi, menjadi seorang pelaku—pelaku dari perubahan. Yang memulai semuanya dari diri sendiri—mengubah diri sendiri.

Mengutuhkan pola asuh yang masih ‘bolong’ dari dalam diri kita. Sehingga saat kita ‘pulang seutuhnya’ ke rumah, kita bukan lagi sesosok anak—manusia yang tidak berani membuat perubahan. Namun menjadi pribadi baru, yang lebih mengenal diri sendiri, Penciptanya, pegangan hidupnya, serta kemana tujuan hidup akan berlabuh. Yang lebih yakin dengan sesuatu yang lebih kekal, sehingga terarah mengapa dirinya harus memperbaiki keadaan—berusaha memperbaiki keadaan.

Dalam perjalanannya, kadang kala akan sulit, bahkan ingin menyerah saking lelahnya. Seolah tidak menemukan titik temu dari apa yang dikerjakan sejauh itu. Tetapi, itulah hidup yang sudah kita masuki dengan kesadaran penuh. Sangat beragam kejadian, pun rasa yang kita rasakan. Sehingga lika-liku yang ada, jatuh-bangun yang ada, akan menjadi warna yang akan membuat hidup lebih berenergi. Jatuh pun akan terpahami bukan dalam rangka mengubur diri. Dan ketika bangun pun akan terpahami bukan dalam rangka melambungkan diri. Akan di temukan titik tengah terbaik, bahwa saat terjatuh dalam rangka menyadari ada Yang Maha Menyayangi. Ada yang ‘mengelus’ kita dengan kasih sayang-Nya, bahwa Allah hanya ingin kita tetap dekat dengan-Nya. Dan ketika terbangun adalah dalam rangka menyadari, bahwa masih ada langit di atas langit—ada Yang Maha Tinggi. Yang telah menepati janji-Nya, bahwa bersamaan dengan kesulitan, pasti ada kemudahan. Ya, titik tengah itu adalah: bejalar.

Kini saatnya kita mengubah sudut pandang diri kita. Bahwa, kita bukan lagi korban dari kondisi rumah yang rusak—yang tidak aman untuk mengeksplorasi kehidupan. Namun, menjadi seorang subjek kehidupan, yang mengenali diri dan Penciptanya dengan baik. Sehingga tahu, kemana arah tujuan hidup sesungguhnya.

Semoga kita selalu dalam balutan lindungan-Nya. Sehingga saat terjatuh, tak tersungkur, bahkan terkubur. Dan ketika terbangun, tak melambung, hingga lupa dengan tempat berpijak. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

Blog at WordPress.com.

Up ↑